Komisi III DPR dan pemerintah kembali membahas Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang mencakup sejumlah perubahan signifikan dalam sistem peradilan pidana. Dalam rapat Panja yang berlangsung di Kompleks Parlemen Senayan, berbagai poin baru seperti penyitaan, penahanan, hingga kewenangan Mahkamah Agung menjadi fokus utama pembahasan.
Sejumlah ketentuan disepakati, di antaranya izin penyitaan cukup dari satu pengadilan daerah setempat serta batasan waktu penahanan di tingkat kasasi selama 30 hari. Selain itu, terdapat 29 klaster masalah baru hasil masukan publik yang kini tengah didalami bersama oleh Komisi III dan Kemenkumham.
DPR dan Pemerintah Sepakat Pengidap Disabilitas Mental Tak Dipidana
DPR dan pemerintah menyepakati pengaturan baru dalam RKUHAP yang menyebut pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental tidak akan dijatuhi hukuman pidana, melainkan direhabilitasi. Kesepakatan ini diambil dalam rapat Panja RKUHAP Komisi III DPR RI bersama pemerintah di Senayan, Jakarta.
Pasal terkait hal itu telah diketok di dalam rapat Panja RKUHAP di Komisi III DPR RI bersama Panja pemerintah di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Rabu (12/11). Aturan itu tertuang dalam Pasal 137A. Berikut adalah bunyinya:
“Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental itu mendapat rehabilitasi bukan pemidanaan, termasuk penyesuaian terhadap KUHAP,” jelas perwakilan tim perumus dan tim sinkronisasi RKUHAP, David, dalam rapat Panja tersebut.
Wamenkum HAM Eddy Hiariej menjelaskan bahwa ketentuan ini mengadopsi pasal dalam KUHP yang menegaskan penyandang disabilitas mental tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Ia mengatakan, langkah ini merupakan bentuk perlindungan hukum bagi kelompok rentan.
“Jadi dalam KUHP itu pasal 38, 39, tentang pertanggungjawaban pidana itu memang bagi penyandang disabilitas (mental), mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab, sehingga memang putusan itu memang bukan pemidanaan tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi,” ucap Eddy di dalam rapat.
Pemeriksaan Tersangka Kini Wajib Diawasi CCTV
Panja RKUHAP Komisi III DPR RI dan pemerintah sepakat mengatur agar pemeriksaan tersangka dalam proses penyidikan dilakukan di bawah pengawasan kamera pengawas atau CCTV. Kesepakatan ini diambil dalam rapat pembahasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu (12/11).
“Kalau di-draf yang lama, kamera pengawas hanya untuk kepentingan penyidikan padahal sebetulnya ada usulan teman-teman itu ini kan dalam konteks kan untuk mengawasi penyidik juga, agar tidak melakukan intimidasi dan sebagainya, ada mengusulkan jangan hanya untuk penyidikan, tapi juga untuk pembelaan,” ucap Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, dalam rapat tersebut.
Ia menjelaskan, akses terhadap rekaman kamera pengawas nantinya bisa juga dimanfaatkan oleh advokat dan tersangka dalam pembelaan di pengadilan, terutama bila terjadi dugaan kekerasan saat pemeriksaan.
“Supaya aparatnya gak dituduh sewenang-wenang juga, dia gak gebukin, ‘wah ini gebukin padahal gak ada buktinya’, kalau sama-sama bisa akses CCTV kan enak, yang bicara CCTV itu,” tambahnya.
Wamenkum HAM Eddy Hiariej menyetujui usulan tersebut dengan alasan agar kedua belah pihak memiliki akses yang adil terhadap rekaman.
“Pemerintah setuju, Pak, karena dengan penggunaan kamera pengawas ini yang secara berimbang baik kepada pelapor dan terlapor itu bisa diberikan pak,” ucap Eddy dalam rapat.

1 week ago
19






































