Jakarta (ANTARA) - Keputusan pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025 menandai langkah besar dalam reformasi pengelolaan fiskal Indonesia.
Program ini dikategorikan sebagai salah satu Program Hasil Terbaik Cepat yang ditujukan untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai target ambisius sebesar 23 persen.
Kehadiran BPN tidak hanya dipandang sebagai kebijakan teknokratis, melainkan juga sebagai jawaban atas tantangan kredibilitas perpajakan yang selama ini menjadi sorotan, baik di ranah akademis, praktisi, maupun dalam ruang publik.
Kritik yang belakangan ini ramai, termasuk dari Dewan Energi Nasional (DEN), menyebut bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sering dianggap “hanya berburu di kebun binatang”. Istilah ini menggambarkan kecenderungan aparat pajak mengejar wajib pajak yang sudah patuh dan berada dalam lingkaran formal, alih-alih memperluas basis pajak dengan menjangkau sektor informal dan potensi baru.
Kritik ini menohok legitimasi DJP sebagai lembaga yang seharusnya menjadi tulang punggung penerimaan negara. Maka, pembentukan BPN hadir sebagai bentuk koreksi struktural dan institusional untuk mengubah paradigma lama tersebut.
Dalam konteks inilah, gagasan pembentukan BPN menemukan relevansinya. Pemerintah berupaya keluar dari jebakan “perburuan di kebun binatang” dengan membangun satu institusi baru yang tidak hanya mengintegrasikan penerimaan pajak, bea-cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tetapi juga memperkuat basis data, sistem informasi, serta strategi intelijen fiskal.
Esensi dari langkah ini adalah memperluas jangkauan penerimaan negara dengan instrumen kelembagaan yang lebih modern, terintegrasi, dan kredibel.
Baca juga: Purbaya bakal pertimbangkan BPN bila penerimaan negara tak optimal
Langkah besar reformasi fiskal
Narasi pemerintah tentang BPN tidak bisa dilepaskan dari realitas penerimaan negara tahun berjalan. Data fiskal menunjukkan adanya shortfall penerimaan di beberapa kuartal 2025, sementara realisasi pajak hingga pertengahan tahun belum mampu menembus separuh target. Situasi ini membuat pemerintah terdesak untuk mencari solusi struktural.
Sejak lama tax ratio Indonesia bergerak di kisaran 9 - 11 persen dari PDB, jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD yang berada di atas 20 persen. Meski sempat membaik setelah pandemi, angka itu kembali bergejolak pada 2025, sehingga target ambisius 23 persen membutuhkan instrumen kelembagaan baru yang diyakini lebih mampu mendongkrak kinerja.
Secara historis, tax ratio Indonesia sempat berada di kisaran 9,11 persen pada tahun 2020, kemudian naik perlahan menjadi 10,33 persen pada tahun 2023 dan diproyeksikan mencapai 11,1 persen pada akhir 2025. Namun, proyeksi ini masih jauh dari rata-rata negara berkembang di Asia yang sudah menembus 15–18 persen.
Di sinilah BPN diharapkan memberikan dorongan signifikan melalui optimalisasi penerimaan, harmonisasi pajak dan bea cukai, serta integrasi dengan sektor penerimaan non-pajak.
Baca juga: Poin penting Perpres 79/2025, dari pendirian BPN hingga gaji ASN
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.