Di tengah perbincangan panjang tentang siapa yang disebut orang Singkil, muncul gagasan baru yang mulai mendapat tempat: bagaimana kalau kita berhenti memperdebatkan istilah suku, dan mulai membangun kesadaran sebagai masyarakat adat Singkil?
Bagi sebagian orang, gagasan ini terdengar seperti perubahan besar, bahkan mungkin terasa seperti langkah mundur. Tapi jika dipahami dengan jernih, justru inilah bentuk kemajuan, jalan tengah yang bisa menyatukan beragam identitas yang selama ini hidup di tanah Aceh Singkil.
Suku, dalam pengertian klasik antropologi, sering dipahami sebagai kelompok manusia yang terikat oleh kesamaan darah, bahasa, dan adat istiadat. Namun dalam konteks Aceh Singkil, garis pemisah itu tidak lagi tegas. Di satu kampung bisa hidup keluarga yang memiliki akar Pakpak, di kampung lain bercampur dengan keturunan Mandailing, Minang atau Aceh, dan banyak di antaranya yang sejak lama mengaku sebagai orang Singkil. Campuran ini bukan tanda kebingungan, melainkan bukti bahwa kebudayaan di Singkil selalu cair, terbuka, dan beradaptasi.
Masalahnya, ketika istilah suku digunakan terlalu sempit, ia bisa memunculkan sekat-sekat baru. Ada yang merasa lebih asli, ada yang merasa tersisih. Akhirnya, diskusi tentang identitas justru berubah menjadi soal “siapa yang lebih berhak,” bukan “bagaimana kita bisa hidup bersama.”
Karena itulah, gagasan untuk mengalihkan fokus dari suku Singkil menjadi masyarakat adat Singkil patut dipertimbangkan. Masyarakat adat bukan tentang garis darah, melainkan tentang kesepakatan sosial bahwa sekelompok orang hidup di wilayah tertentu, memegang nilai, bahasa, dan adat bersama, serta mengakui asal-usul sejarah yang sama.
Konsep ini lebih inklusif. Ia tidak menyingkirkan siapa pun yang telah lama hidup, berbaur, dan berkontribusi dalam budaya Singkil. Seorang yang tidak lahir dari darah Singkil pun bisa menjadi bagian dari masyarakat adat, selama ia menghormati dan ikut menjaga nilai-nilai yang hidup di tanah ini.
Bayangkan jika istilah “masyarakat adat Singkil” benar-benar hidup dan diterima. Kita tidak lagi bicara soal siapa yang paling murni, tetapi siapa yang paling peduli. Tidak lagi soal siapa yang datang duluan, tapi siapa yang bersama-sama menjaga warisan budaya agar tidak punah.
Bahasa Singkil, misalnya, tidak perlu menjadi milik eksklusif satu suku. Ia bisa menjadi milik semua orang yang mencintai dan mau memeliharanya. Begitu pula dengan adat dan nilai-nilai seperti gotong royong (mauruk), sopan santun dalam bicara, atau penghormatan kepada orang tua semua itu bisa menjadi fondasi moral masyarakat adat Singkil yang terbuka.
Mengalihkan narasi ke arah masyarakat adat juga memberikan ruang untuk rekonsiliasi identitas. Seseorang bermarga Berutu, misalnya, tidak perlu lagi memilih antara “Pakpak” atau “Singkil.” Ia cukup menjadi bagian dari masyarakat adat Singkil yang menghargai akar dan realitas sosialnya. Begitu pula mereka yang berdarah Aceh, Minang, Mandailing, atau Jawa semua bisa menjadi bagian dari satu kesatuan identitas kultural tanpa kehilangan jati diri asal.
Langkah ini tidak berarti menghapus sejarah suku Singkil. Justru sebaliknya, ia adalah cara baru untuk menjaga warisan itu agar tetap hidup di tengah zaman yang berubah. Dengan menjadi masyarakat adat, kita memindahkan fokus dari “asal darah” ke “kesadaran budaya.” Dari pertanyaan “kita berasal dari mana” menjadi “apa yang ingin kita wariskan.”
Masyarakat adat Singkil dapat menjadi ruang bersama — tempat setiap orang bisa berdiri sejajar sebagai penjaga nilai dan pewaris kebudayaan. Identitas yang lahir bukan dari klaim, tapi dari kepedulian. Ia mengundang semua pihak untuk turut serta membangun kesadaran bersama, bukan menyingkirkan satu sama lain.
Di masa depan, mungkin inilah arah terbaik bagi Singkil. Bukan memperkuat tembok antara suku, tetapi memperkokoh jembatan antarbudaya. Bukan memperdebatkan siapa yang asli, tapi memperjuangkan siapa yang peduli.
Karena pada akhirnya, tanah ini akan diingat bukan dari nama suku yang menempatinya, melainkan dari kebersamaan mereka menjaga akar budaya yang tumbuh di atasnya.

1 week ago
7

,x_140,y_26/01kax7hxp9gssg76ng2npxjbe4.jpg)
,x_140,y_26/01kax76yr9hjr5fbw2c24n1n5g.jpg)
,x_140,y_26/01kax6rwg34neek8ya75cbpsz1.jpg)



































