Beijing (ANTARA) - Pemerintah China merespon perintah Presiden Donald Trump yang menaikkan biaya aplikasi visa H1-B menjadi 100 ribu dolar AS (sekitar Rp1,6 miliar) pagi perusahaan di AS yang mempekerjakan tenaga asing khususnya bidang teknologi.
"Kami tidak punya komentar tentang kebijakan visa AS tapi China menyambut talenta dari berbagai sektor dan bidang di seluruh dunia untuk datang," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, Senin (22/9).
Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif pada Jumat (19/9) yang mewajibkan perusahaan di AS membayar 100.000 dolar AS (sekitar Rp1,6 miliar) per tahun untuk visa pekerja H-1B.
"Kita membutuhkan pekerja. Kita membutuhkan pekerja yang hebat. Dan ini hampir memastikan bahwa itulah yang akan terjadi," kata Trump.
Langkah tersebut merupakan upaya terbaru pemerintah untuk memperketat kontrol imigrasi dan dapat berdampak luas pada sektor-sektor yang sangat bergantung pada pemegang visa H-1B.
"Dalam dunia yang terglobalisasi, arus talenta lintas batas berperan penting dalam kemajuan teknologi dan ekonomi global. Kami mendukung bagi talenta-talenta tersebut untuk menemukan pijakan mereka di China demi kemajuan umat manusia sekaligus kesuksesan karier pribadi," tambah Guo Jiakun.
Keputusan Trump tersebut bertujuan untuk mengekang apa yang digambarkan pemerintahan Trump sebagai penyalahgunaan sistem visa yang meluas, khususnya bagi perusahaan yang menggantikan pekerja bidang teknologi AS dengan tenaga kerja asing berbiaya lebih rendah.
Visa H-1B memungkinkan perusahaan mempekerjakan sementara pekerja asing di AS secara non-imigran dalam pekerjaan khusus dengan prestasi dan kemampuan yang luar biasa.
Pekerjaan khusus dimaksud adalah yang membutuhkan penerapan teoretis dan praktis terhadap pengetahuan khusus dan gelar sarjana dalam spesialisasi tertentu misalya sains, kedokteran, perawatan kesehatan, pendidikan, bioteknologi, dan spesialisasi bisnis.
Keputusan tersebut dapat menjadi pukulan telak bagi sektor teknologi yang sangat bergantung pada pekerja terampil dari India dan China.
India merupakan penerima manfaat visa H-1B terbesar tahun lalu, dengan 71 persen dari total penerima yang disetujui, sementara China berada di posisi kedua dengan 11,7 persen, menurut data pemerintah.
Jumlah pekerja asing di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) di AS meningkat lebih dari dua kali lipat antara periode 2000 hingga 2019 menjadi hampir 2,5 juta orang, bahkan karena secara keseluruhan lapangan kerja STEM hanya meningkat 44,5 persen selama periode tersebut.
Pada semester pertama tahun 2025, Amazon.com (AMZN.O), dan unit komputasi awannya, AWS, telah menerima persetujuan untuk lebih dari 12.000 visa H-1B, sementara Microsoft (MSFT.O) dan Meta Platforms (META.O), masing-masing telah menerima lebih dari 5.000 persetujuan visa H-1B.
Baca juga: China respons soal AS akan periksa akun medsos pelamar visa pelajar
Baca juga: China protes keras soal AS akan cabut visa pelajar Tiongkok
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.