Rencana revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan kembali mencuat. Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memulai langkah awal pembahasan perubahan aturan ini.
Salah satu tujuannya adalah untuk memitigasi berbagai persoalan yang selama ini muncul dalam penyelenggaraan pemilu, baik Pilpres maupun Pilkada.
Hal ini disampaikan Khozin dalam diskusi bertajuk Kupas Tuntas Rencana Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan yang digelar di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (8/5).
“Kalau wacana ini masih sesuatu yang masih sumir, abu-abu, masih belum jelas. Ini sudah menjadi kesepakatan bahwa kemudian DPR RI melalui Komisi II sudah mulai melakukan RDPU, sudah mau mulai melakukan FGD untuk memulai langkah awal memitigasi permasalahan-permasalahan yang muncul dari penyelenggaraan pemilu baik Pilpres maupun Pilkada,” ujar Khozin.
Menurut Khozin, revisi UU Pemilu penting dilakukan mengingat sejumlah pertimbangan, salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan tingginya jumlah uji materi yang terjadi selama dua tahun terakhir.
“Pertama urgensi tentu kita nggak bisa lepas daripada putusan Mahkamah Konstitusi ya, nomor 116, terkait dengan keterwakilan parlemen atau parlementer. Kemudian yang kedua banyaknya ya uji materi," kayanya.
"Dari catatan kami, dari 2023 sampai 2024 sekurang-kurangnya ada 98 kali uji materi di MK. Dengan detail, 2023 sebanyak 42 kali, 2024 sebanyak 56. Sebetulnya ada celah hukum, menjadi PR kita bersama untuk kemudian kita memiliki sudut pandang yang sama terhadap aturannya,” sambungnya.
Khozin juga menggarisbawahi pentingnya pengalaman empirik yang dialami Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Salah satunya soal perbedaan penafsiran masa jabatan penyelenggara pemilu.
“Bawaslu memberikan contoh empiris di lapangan ketika misalkan kita membaca norma aturan terkait dengan masa jabatan KPU dan Bawaslu, kemudian diikat, nggak boleh keluar daripada aturan main itu," ujarnya.
"Tapi di sisi yang lain, ada stakeholder yang juga punya irisan terhadap pelaksanaan pemilu yang satu, misalkan menerjemahkan masa periode itu berlaku semenjak dilantik dan diambil sumpah, sementara stakeholder yang lain itu semenjak dari PLT,” jelasnya.
Menurut dia, diskusi dan masukan dari berbagai pihak masih sangat dibutuhkan untuk memastikan revisi UU Pemilu nanti benar-benar menjawab persoalan yang ada di lapangan.
“Saya yakin tidak hanya itu saja, banyak case yang lain yang ditemukan. Tentunya DPR melalui Komisi II ini butuh banyak masukan, banyak insert dari masyarakat tahu pemilu, untuk kita bisa lebih kompetensi masalah. Ketika ini sudah komprehensif, permasalahan ini muncul tidak hanya dalam hal mana sengketa pemilunya, tapi juga dalam hal persiapannya, dalam pelaksanaannya, distribusi logistiknya, kemudian sistem keterwakilannya, anggarannya, dan sebagainya,” kata Khozin.
Ia menambahkan, jika tidak ada kendala, pembahasan revisi UU Pemilu ini diharapkan sudah resmi diseriuskan pada tahun 2026.
“Jadi oleh karena itu, kalau rancangan yang ada di Komisi II, kalau tidak ada aral melintang, insyaallah dari 2026 itu secara official sudah mulai dilakukan. Tapi dari tahun ini juga kita sudah memulai melakukan RDPU, diskusi yang semacam ini,” ujar dia.
Lebih lanjut, Khozin juga menyinggung soal pentingnya melakukan pendekatan clustering dalam pembahasan sistem pemilu.
“Yang kedua yang ingin kami sampaikan terkait dengan clustering, ada setidaknya kalau kita berwujudkan ada dua: yang pertama clustering yang secara politis, yang kedua clustering itu secara populis. Bagaimana dikupas, bagaimana sistem yang ideal di tengah kerangka teoritis dan di lapangan, banyak c...